
Proses Pembukuan Al Quran, dari Pelepah Kurma hingga Digitalisasi Angka
Al Quran merupakan kitab suci bagi umat Islam, selain itu Al Quran bagi umat Islam sebagai pedoman hidup manusia yang memberikan petunjuk karena didalamnya terdapat ayat-ayat yang jika dibaca, dipahami dan diamalkan akan mendapat pahala serta ilmu pengetahuan.
Al Quran adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT sekaligus yang pertama kali diturunkan pada bulan Ramadhan. Al Quran diturunkan langsung oleh Allah SWT kepada Rasulullah melalui perantara malaikat Jibril dalam bahasa Arab.
Sampai sekarang keasliannya masih terjaga dan sampai sekarang juga masih terus dibukukan serta sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa, salah satunya Bahasa Indonesia.
Dalam sejarah berdirinya Agama Islam teks Al Quran belum tersusun secara rapi dan teratur seperti sekarang ini. Pada awal diturunkan, Rasulullah menyampaikan setiap ayatnya kepada para sahabatnya, lalu mereka menuliskan ayat Al Quran tersebut ke berbagai media yang bisa digunakan pada saat itu seperti dari pelepah kurma, lepengan batu, lontar, kulit atau daun kayu, pelana, hingga potongan tulang binatang yang tentu itu masih dalam bentuk lembaran (mushaf).
Kemudian setelah Nabi Muhammad SAW wafat tepatnya pada masa pemerintahan Abu Bakar as-Shiddiq banyak penghafal Al Quran yang terbunuh saat pertempuran di Yamamah. Lalu Umar ibn al-Khattab resah akan keberadaan Al Quran lalu beliau mengusulkan agar Abu Bakar as-Shiddiq untuk mengumpulkan lembaran-lembaran ayat Al Quran kemudian menyusunnya menjadi kitab.
Pada awalnya Abu Bakar as-Shiddiq ragu namun kemudian beliau menyetujuinya dan menamakan ayat-ayat Al Quran yang telah dikumpulkan sebagai al-Mushaf As Syarif yang artinya kumpulan naskah yang mulia.
Penulisan Al Quran di Indonesia sendiri diperkirakan telah ada sejak sekitar akhir abad ke-13 dengan cara menyalinnya kembali secara tradisional dengan tulisan tangan yang terus berlangsung sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20.
Pada saat itu penyalinan dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat Islam baik oleh profesional, santri maupun para ulama. Sampai pada akhir abad ke- 19 di Asia Tenggara mulai beredar mushaf Al Quran yang dicetak dengan teknologi cetak batu atau disebut litograf.
Kemudian pada tahun 1930 an pencetakan mushaf Al Quran menggunakan mesin cetak modern mulai dilakukan di Negara Indonesia. Pada tahun 1951 mushaf Al Quran juga dicetak Braille untuk penyadang Tunanetra. Lalu mushaf cetakan tahun 2004 percetakan mushaf sudah semakin pesat perkembangannya.
Hal ini ditandai dengan munculnya variasi tampilan mushaf Al Quran yang disesuaikan dengan pembacanya seperti untuk anak-anak, wanita, pengkaji fiqih dan lain sebagainya.
Selain itu penerbit juga mulai menambahkan kertas pembatas, uraian makhraj huruf, ayat-ayat sajadah, kertas doa sujud tilawah, al-ma’tsurat, asbabun nuzul, tafsir, hadis dan sebagainya.
Para penerbit terus berinovasi dalam menawarkan keunggulan masing-masing mushaf. Bahkan perkembangan saat ini merambah pada era mushaf digital. Mushaf digital banyak dikembangkan seiring dengan meningkatnya perkembangan teknologi IT yang pada umumnya dikemas dalam bentuk audio dan visual yang menarik kemudian dikembangkan lagi menjadi sofware yang lebih praktis untuk digunakan dan multifungsi.
Seperti contohnya sebuah aplikasi Al Quran digital yang dapat di instal pada perangkat android, web maupun IOS. (Fatimah Dwi R, Volunteer Ramadhan)