Kembali
image
Fiqih

Hukum Bepergian Pada Hari Jum'at

6 tahun yang lalu ● Dibaca 32866x

Secara umum, Islam mengizinkan kaum muslimin untuk bepergian kapan saja asalkan dengan tujuan dan cara yang baik. Bepergian, sebagaimana disabdakan Nabi SAW, merupakan bagian dari azab atau kepayahan. Sehingga musafir memiliki beberapa dispensasi (rukhsah) dalam menjalankan ibadah, seperti melakukan jamak dan qashar shalat.

Namun, bepergian pada malam/hari Jumat, ada ketentuan khusus yang harus dipahami. Tidak jarang, acara atau aktivitas seseorang pada waktu tertentu memaksanya untuk bepergian pada malam/ hari Jumat.

Hukum asal bepergian pada malam/hari Jumat adalah makruh. Yang dimaksud malam Jumat adalah rentang waktu mulai maghrib sampai terbitnya fajar di hari Jumat.

Imam al-Ghazali dalam kitab al-Ihya’ memberi alasan, karena dinyatakan dalam hadis yang sangat lemah, barangsiapa bepergian pada malam Jumat, kedua malaikatnya akan mendoakan buruk kepadanya.

Tetapi, menurut Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Kubra, bila tidak ada tujuan menghindar dari kewajiban Jumat, maka tidak makruh. Sebab, kewajiban Jumat baru mulai sejak terbitnya fajar, bukan pada malam harinya.

Sementara, apabila bepergian dilakukan setelah terbitnya fajar, hukum asalnya adalah dilarang. Sebab, setelah terbit fajar, seseorang sudah terikat kewajiban Jumat. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda (yang maknanya): ”Barangsiapa bepergian pada hari Jumat, malaikat mendoakan buruk kepadanya agar tidak mendapatkan teman di perjalanan” (HR adDaruquthni).

Namun, larangan tersebut bisa hilang apabila terdapat salah satu di antara dua hal berikut:

1. Ada dugaan kuat bahwa dia dapat melaksanakan ibadah Jumat dalam perjalanan atau di tempat tujuan.

2. Terdapat mudarat (bahaya) bila tidak bepergian setelah subuhnya hari Jumat, seperti tertinggal dari rombongan.

Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’in mengatakan: ”Haram bagi orang yang berkewajiban Jumat, melakukan safar setelah terbitnya fajar hari Jumat yang menyebabkan ia meninggalkan Jumat, …kecuali ia khawatir tertimpa mudarat bila tidak bepergian seperti tertinggal dari rombongan, maka tidak haram dalam kondisi tersebut, bahkan meski dilakukan setelah masuk waktu zuhur selama bukan bepergian maksiat”.

Khawatir tertinggal dari rombongan termasuk alasan yang memperbolehkan seseorang untuk bepergian setelah terbitnya fajar hari Jumat apabila bepergian tidak memungkinkan dilakukan selain pada waktu tersebut. Sehingga apabila masih memungkinkan dilakukan pada waktu yang lain, maka bukan termasuk ’udzur. Dalam keadaan demikian, musafir berkewajiban menjalankan ibadah Jumat dalam perjalanan atau di tempat tujuannya.

Hukum tidak melakukan ibadah Jumat 3 kali berturut-turut

Terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan ancaman bagi orang yang meninggalkan ibadah Jumat sebanyak tiga kali tanpa ’udzur, antara lain:

  1. Rasulullah SAW bersabda (yang maknanya): ”Hendaknya orang yang suka meninggalkan Jumatan itu menghentikan kebiasaan buruknya atau Allah akan mengunci mati hatinya, kemudian dia termasuk orang-orang yang lalai” (HR Muslim dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah ra).
  2. Rasulullah SAW bersabda (yang maknanya): ”Siapa yang meninggalkan 3 kali Jumatan karena meremehkan, maka Allah akan mengunci hatinya” (HR Ahmad, an-Nasai dan Abu Daud, dari Abul Ja’d ad-Dhamri ra).
  3. Dari Jabir bin Abdillah ra, Rasulullah SAW bersabda (yang maknanya): ”Siapa yang meninggalkan Jumatan 3 kali bukan karena darurat, Allah akan mengunci hatinya” (HR Ibnu Majah).
  4. Dari Usamah ra, Rasulullah SAW bersabda (yang maknanya): “Siapa yang mendengar azan Jumatan 3 kali kemudian dia tidak menghadirinya, maka dicatat sebagai orang munafik” (HR at-Thabrani).

Dari beberapa hadis di atas dapat dipahami bahwa: Yang dimaksud ”Allah mengunci hatinya” adalah Allah SWT menutup hatinya dan menghalangi masuknya hidayah dan rahmat ke dalam hatinya. Kemudian digantikan dengan kebodohan, sifat beringas, dan keras kepala. Sehingga hatinya seperti hati orang munafik. Demikian keterangan al-Munawi dalam Faidhul Qodir (6/133).

Ketika hati seseorang sudah dikunci mati, dia menjadi kebal hidayah. Seberapa pun peringatan yang dia dengar, tidak akan memberi manfaat dan tidak akan menggerakkan hatinya.

Hukuman semacam ini mirip dengan hukuman yang Allah berikan kepada Iblis. Karena pembangkangannya, Allah SWT menutup kesempatan bagi Iblis untuk bertobat. Sungguh hukuman yang sangat menakutkan.

Demikian pula keadaan orang munafik. Karena batin mereka mengingkari kebenaran, Allah SWT mengunci mati hatinya sehingga mereka menjadi bodoh dengan hidayah, ”Lalu hatinya dikunci mati, sehingga mereka tidak memahami.” (QS. al-Munafiqun 3).

Semua perbuatan dosa akan menjadi sebab tertutupnya hati. Semakin besar dosa yang dilakukan seseorang, semakin besar pula penutup hatinya. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda (yag maknanya): ”Sesungguhnya seorang hamba, apabila melakukan perbuatan maksiat maka akan dititikkan dalam hatinya satu titik hitam. Jika dia meninggalkan maksiat itu, memohon ampun dan bertobat, hatinya akan dibersihkan. Namun, jika dia kembali maksiat, akan ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan ”arraan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya: Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (HR at-Turmudzi). Meninggalkan ibadah Jumat tanpa ‘udzur termasuk dosa yang menyebabkan hati pelakunya dikunci mati.

Mengenai makna 3 kali, beruntun atau tidak, as-Syaukani dalam Nailul Author (3/266) menjelaskan sebagai berikut:

  1. Kemungkinan pertama, ancaman ini terjadi ketika dia meninggalkan ibadah Jumat, baik berturut-turut atau secara terpisah. Sehingga ketika ada orang yang meninggalkan satu kali Jumat setiap tahun, Allah SWT akan mengunci hatinya pada pelanggaran yang ketiga.
  2. Kemungkinan kedua, maksud ancaman ini, jika dia meninggalkan ibadah Jumat 3 kali berturutturut, sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas. Karena melakukan dosa berturut-turut dan terus-menerus, menunjukkan sedikitnya rasa takut. Ancaman ini berlaku bagi orang yang meninggalkan ibadah Jumat tanpa ‘udzur, sebagaimana yang ditegaskan dalam hadis di atas. Sedangkan orang yang memiliki ‘udzur untuk tidak Jumatan, seperti sakit, safar, di laut, atau ‘udzur lainnya, maka tidak termasuk dalam ancaman ini. Di zaman Umar ra, ada seseorang yang berencana melakukan safar di hari Jumat. Kemudian dia mengurungkan rencananya karena ingat harus Jumatan. Kemudian ditegur oleh Umar bin Khatab RA: ”Berangkatlah, karena Jumatan tidaklah menghalangi orang untuk melakukan safar” (HR Ibnu Abi Syaibah). Wallaahu a’lam.

(Ditulis oleh : Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, MA)