
Kerja Keras dan Cerdas, Sebagai Karakter Umat Nabi
Sejatinya bahwa kekaisaran Byzantium akan dikuasai oleh umat Islam, ini merupakan kejadian yang telah ditakdirkan Allah SWT. Dari mana informasi bahwa imperium Romawi dengan benteng yang sangat kokoh itu bisa ditaklukkan oleh umat Islam?
Jawabannya dapat disimak dari peristiwa Perang Al Ahzab atau Perang Khandaq di Madinah. Ini saat umat Islam melakukan penggalian parit sebagai strategi untuk menghalau serangan pasukan sekutu Yahudi dan kelompok Quraisy pada tahun kelima Hijriyah bertepatan sekitar tahun 627 Masehi.
Di tengah-tengah suasana umat Islam beramai- ramai menggali parit dengan struktur tanah penuh bebatuan yang keras, ada peristiwa yang sangat menakjubkan. Kejadian bermula salah seorang sahabat yang gagal memecah batu karang yang sangat kokoh. Melihat keanehan itu, Salman Al Farisi melapor ke Nabi SAW. Beliau langsung bertindak mengambil kapak yang ada di tangan Salman lalu menghujamkan ke batu yang keras itu.
Dengan hantaman pertama, batu terbelah dan memancarkan cahaya yang kemilau walaupun belum hancur total. Sambil mengumandangkan takbir, Rasulullah menghujamkan kapaknya ke batu itu lagi, maka makin terbelah dengan memancarkan sinar cahaya yang sama. Kali ketiga Rasulullah mengempiskan lagi kapaknya lalu batu menjadi hancur dengan mengeluarkan cahaya cemerlang.
Selanjutnya Rasulullah SAW menjelaskan dari peristiwa itu kepada para sahabat bahwa Malaikat Jibril datang dengan menyatakan bahwa cahaya pertama mengisyaratkan umat Islam akan menguasai Hirah dan istana-istana kaisar di Persia. Cahaya kedua mengisyaratkan kekuasaan umat Islam atas wilayah Byzantium. Dan cahaya ketiga menunjukkan penguasa umat Islam atas wilayah San'a di Yaman (HR Ahmad dan al-Nasa’i).
Namun, ternyata walaupun sudah menjadi ketetapan-Nya, tidak serta merta Byzantium bagaikan harta warisan yang langsung bisa dimiliki kaum muslimin. Diperlukan waktu 800 tahun menunggu sampai benar-benar takdir tersebut terwujud.
Bukan sekadar menunggu, tetapi diperlukan perjuangan dengan strategi, semangat, keberanian dan teknologi tempur yang sangat luar biasa dan dalam kendali pemimpin yang terbaik. Dialah Sultan Mehmet atau yang populer disebut Sultan Muhammad Al Fatih.
Pada tahun 1453 M Byzantium jatuh dalam kekuasaan kaum muslimin. Dalam sebuah hadis, Nabi SAW pernah menyampaikan, ”Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik- baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan” (HR Ahmad bin Hanbal).
Byzantium sebuah imperium Romawi dengan kekuasaan yang sangat kuat dan luas sebagai kerajaan adikuasa di zamannya. Pusat pemerintahannya disebut Konstantinopel. Untuk mempertahankan kemegahannya, dibangun benteng pertahanan amat sangat indah, luas, dan kokoh mengelilingi kota dan terlalu berat ditembus oleh pasukan asing yang akan menyerang.
Dalam perjalanan sejarahnya, umat Islam berkali-kali berusaha menaklukkan Kota Konstantinopel tetapi belum behasil. Pada masa sahabat, penyerangan diprakarsai oleh Muawiyah bin Abu Sufyan tahun 668 M, tetapi usahanya gagal. Perjuangan ini diteruskan oleh sahabat Abu Ayyub al Anshari sampai gugur di sana dan juga gagal.
Keyakinan untuk mewujudkan hadis Rasulullah tersebut di kalangan kaum muslimin tidak pernah pudar. Perjuangan dilanjutkan oleh generasi berikutnya dari Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, hingga Turki Utsmani pada masa kekuasaan Murad II yang juga mengalami kegagalan.
Sampailah kemudian setelah naik tahta putra Sultan Murad II, yaitu Muhammad II yang selanjutnya bergelar Al Fatih. Sultan muda ini berhasil menaklukkan Konstantinopel, lambang kebesaran Byzantium. Kemudian Sultan Muhammad Al Fatih mengganti nama Konstantinopel menjadi Istanbul yang artinya takhta Islam sebagai pusat pemerintahannya.
Akhirnya yang dapat dipelajari dari perjalanan sejarah ini adalah takdir belum bisa terwujud jika belum ada ikhtiar yang sebanding. Untuk mewujudkan hal yang luar biasa perlu usaha yang lebih luar biasa, bukan hanya dengan biasa-biasa saja.
Semoga Allah memberi kekuatan yang luar biasa seraya didasari keyakinan. “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS Ar Ra'd: 11). (KH. Umar Jaeni, M.Pd - Direktur Nurul Falah)